Saat membaca buku “The Challenges of Democracy and the Rule of Law” karya Jonathan Sumption, saya teringat pada percakapan santai di warung kopi antara 3 orang sahabat sesama alumni sebuah Fakultas Hukum kenamaan di Jawa Tengah, mereka adalah aktivis / analis kebijakan, politisi sekaligus advokat, Hakim, dan ASN sebelum Pemilu 2024. Topik abadi tentang “demokrasi dan hukum” berulang, namun tiap generasi seolah harus belajar—dan lengah—pada siklus yang sama: demokrasi yang kita anggap hadir secara otomatis, dan hukum yang sering dipakai sekadar penegasan formal, tapi rapuh dalam prakteknya.
Sumption, bekas hakim agung Inggris yang dikenal renyah dalam menyusun argumen, menulis seperti seorang maestro menata nada dan harmoni dalam jazz klasik: mengedepankan logika, tapi tetap memberi ruang bagi intuisi sejarah dan pengalaman nyata. Ia mengajak pembaca menengok ulang bahaya laten dalam demokrasi Barat: polarisasi tak berujung, membuncahnya populisme, dan delegitimasi institusi hukum yang seharusnya jadi pagar kokoh demokrasi.
Pesan Moral: Demokrasi Tak Pernah Otomatis
Sumption mengajukan satu pesan moral yang jelas—demokrasi dan rule of law bukan barang ‘given’. “Democracy is not just about counting the votes. It is about recognising and protecting the rights of those who did not get their way,” tulisnya. Demokrasi bukan sekadar suara mayoritas, tapi kesediaan untuk mendengarkan dan melindungi mereka yang kalah secara angka. Pendekatan ini terasa relevan bagi siapa saja yang, seperti saya, mendampingi tokoh politik, kepala daerah, atau organisasi dalam menavigasi ketidakpastian hukum-politik di Indonesia.
Ia juga mengingatkan: “The rule of law is the institutional safeguard, not just of individual liberty, but of the legitimacy of government itself.” Ketika ketidakadilan muncul dan kepercayaan publik luntur—karena tumpulnya hukum atau intervensi kekuasaan yang tak terbendung—krisis legitimasi hanyalah soal waktu. Di sini, Sumption tak sekadar bicara teori; ia mengulas konsekuensi praktis pada kehidupan nyata, dari kebijakan pemerintah hingga keputusan pengadilan yang mestinya berpihak pada keadilan substantif, bukan prosedur semata.
Menimbang Bahaya Polarisasi dan “Legalism”
Menurut Sumption, ada dua ancaman utama bagi demokrasi modern: polarisasi politik dan “legalism” (formalisme hukum yang berlebihan). “Polarisation and legalism are the twin threats to democratic stability: one fractures society, the other risks taking politics out of the hands of the people.” Di Indonesia, dua hal ini nyata. Polarisasi berakar pada identitas, agama, atau kelas, dapat memicu fragmentasi masyarakat. Sementara kecenderungan menyerahkan semua masalah kepada pengadilan justru membonsai proses dialog publik dan mereduksi demokrasi sekadar pertarungan argumentasi legal-formal.
Bukan berarti Sumption anti-peradilan; ia menegaskan batas perlu ada. “Courts should not be the forum for resolving every issue of public policy. Democratic legitimacy requires some questions to remain with those who are elected.” Ada kebijakan yang urusan publik, yang kewenangannya tetap harus berada di tangan pejabat terpilih—sebuah reminder penting terutama ketika judicialisasi politik mulai menjadi tren dalam sengketa kewenangan maupun pelaksanaan kebijakan di Indonesia.

Relevan Untuk Praktisi dan Policy Maker
Buku ini relevan bagi konsultan, advokat, dan analis kebijakan. Ia mengajarkan pentingnya membaca peta risiko, menimbang manfaat dan mudarat penggunaan hukum sebagai instrumen politik, serta menegaskan bahwa pembelaan atas demokrasi dan rule of law butuh peran kolektif: pemerintah, organisasi politik, sektor privat hingga masyarakat sipil. Dalam pengalaman saya mendampingi klien menghadapi kasus strategis—mulai dari advokasi kebijakan, relasi pusat-daerah, hingga investasi yang rawan politisasi—refleksi Sumption selalu kontekstual dan aplikatif.
Lebih jauh, buku ini cocok untuk siapa saja yang peduli pada masa depan Indonesia. Dengan persimpangan ketidakpastian global, dari perang dagang hingga krisis iklim dan teknologi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan seringkali diambil alih narasi jangka pendek dan kepentingan golongan. Tanpa kesadaran kolektif untuk memulihkan kepercayaan pada institusi, demokrasi rentan lelah sebelum mencapai kematangan.
Integrasi Hukum dan Keadilan
Seperti halnya Sumption, saya percaya pentingnya mengintegrasikan hukum dan keadilan dalam setiap kerja politik dan advokasi. Demokrasi tidak cukup hanya mengandalkan prosedur pemilu, ataupun retorika supremasi hukum tanpa perlindungan riil atas hak-hak dasar. Dalam setiap dinamika legislasi, konflik pilkada, hingga pelibatan sektor swasta, sering kali saya temukan resep Sumption: keadilan harus menyatu dengan kebijaksanaan sejarah serta apresiasi pada keragaman suara publik.
Buku ini barangkali layak menjadi bacaan wajib—bukan hanya bagi para akademisi atau pengambil kebijakan, tapi untuk masyarakat luas yang ingin tetap waras dan adil dalam menimbang masa depan republik. Integrated law and justice, sebagaimana digarisbawahi Sumption, harus terus diperjuangkan: lewat pendidikan politik, advokasi, hingga model kepemimpinan yang mampu menjaga keseimbangan antara prosedur demokrasi dan substansi keadilan.
Pada akhirnya, demokrasi dan hukum bukan sekadar wacana di atas kertas. Mereka adalah denyut kehidupan masyarakat, yang menuntut kewaspadaan serta komitmen tak putus dari semua pihak—sebelum tiang-tiang penyangganya benar-benar patah, seperti bagian frontispiece pada sampul buku Sumption: elegan sekaligus rapuh, menunggu untuk dirawat, bukan hanya dipamerkan.
(Denny Septiviant – Founder Shakra.Co.)